Menikmati hari-hari tinggal di Lasem merupakan kebahagiaan tersendiri bagi seorang peneliti sekaligus pelancong seperti saya. Tak hanya simpanan materi sejarah, legenda, kehidupan budaya, keramahan orang-orang di Lasem yang membuat saya betah untuk kembali dan lagi-lagi kembali ke Lasem. Satu hal yang selalu menarik saya untuk ‘mudik’ ke kampung halaman ketiga ini adalah khasanah makanannya.
Setiap kembali, saya selalu saja menemui hal baru, termasuk kulinernya. Saya sampai berpikir, mungkin saya bisa membuat katalog kuliner Lasem!
Tak hanya makanan yang dijajakan di warung makan sederhana atau tenda kaki lima, tapi juga masakan rumahan di rumah-rumah teman kerabat di sekitar Kecamatan Lasem yang selalu menyambut saya dengan aneka masakan sederhana tapi benar-benar menggoyang lidah.
September, tepatnya tanggal 17 siang, saya dan teman-teman diundang makan siang oleh Mbak Vina, istri dari Mas Rudy suksesor Batik Kijang Mas yang sekarang beralih nama dengan merek Kidang Mas. Hampir tengah hari bolong ketika matahari tepat di atas ubun-ubun–terekam di HP, suhu menunjukkan angka 32 derajat celcius–, pesan singkat di WA dari Mbak Vina mengingatkan kami untuk datang makan siang dengan menu masakan khas Keluarga Tjan, yaitu sambal goreng tauco udang. Saya sempat menebak-nebak bagaimana rupa dan aroma masakan itu, tapi tetap tak dapat membayangkan dengan pasti penampakan dan rasanya.
Menginjakkan kaki di Rumah Batik Kidang Mas, Jalan Babagan Gang 5 No. 1, saya disambut senyuman sumringah Mbak Vina dan Mas Rudy. Tak lama sesosok mungil berlarian cengar-cengir. Namanya Elisa, gadis mungil nan lucu dan cerewet yang selalu menghibur saya dengan cerita-cerita dari tokoh-tokoh mainannya.
Saya sempat berkeliling rumah untuk mengambil beberapa gambar momen ngerok batik yang sudah jarang dilakukan oleh para pembatik Lasem, lalu menyapa ibunda dari Mas Rudy yang telah memasakkan menu andalan keluarganya, sambal goreng tauco udang!
Tanpa panjang lebar, menu keluarga itu telah terpampang nyata di hadapan saya. Siang itu, saya dan kawan-kawan dijamu menu rawon daging dan sambal goreng tauco. Tak ketinggalan, bakwan jagung dan sambal pun turut hadir dalam perjamuan tersebut. Tatapan saya langsung tertuju pada sepiring olahan makanan tauco. Tak tampak kacang-kacang kedelai berbentuk bulat-bulat kecoklatan. Aneh, saya pikir. Tauconya mana?
Rupanya, tauconya tidak berwarna coklat gelap seperti tauco pada umumnya. Tauco ini warnanya krem muda, nyaris ada semburat merah muda, sudah digiling dihaluskan pula menjadi semacam bubur. Ooo, rupanya ada udang yang tersembul di antara gumpalan ‘bubur’ tauco. Saya mengambil secentong nasi dan tiga sendok sambal goreng tauco udang. Buru-buru saya suap nasi dan sambal tauconya. Saya terhenyak sesaat. Nyaaaaaaaaaam!
Saya bukan penggemar fanatik tauco. Tapi, setelah makan sambal goreng tauco udang ala Keluarga Tjan, bisa-bisa saya jadi pencinta tauco. Rasa asam hasil fermentasi tauco tidaklah kuat. Yang saya rasakan hanya rasa gurih asin manis sedikit asam pedas. Pokoknya enak! Saya belum pernah merasakan olahan tauco seenak menu siang itu. Jujur, saya sampai menambah porsi kedua!
“Mbak, sumpah, ini enak banget,” saya berceloteh kepada Mbak Vina dan Mas Rudy yang hilir mudik di dekat pusat ‘dunia’ (meja berisi hidangan).
“Masakan khas rumah ini, tauconya juga khas Lasem lho!” celetuk Mbak Vina.
“Hah? Lasem punya pabrik tauco? Di manaaa?” jerit saya (agak lebay).
“Ituuu lho, di Jalan Dasun No. 1. Turun jembatan langsung pintu biru!” ujar Mbak Vina.
“Rumah di belakang toko perlengkapan kandang burung?” tanya saya.
“Betul, tauconya lain dengan lain daerah. Beda dengan tauco medan atau tauco pekalongan,” pungkas Mbak Vina.
“Bener, beda banget, aku membayangkan tauconya warna coklat, bulet-bulet gede! Ini kok lucu cantik begini,” ujar saya.
Tiba-tiba rekan saya, Astri, menyeletuk, “Bagi resepnya dong, Mbak!”
“Nanti dikirim lewat WA, ya,” ujar Mbak Vina.
Siang itu, kami nyaris menghabiskan menu sambal goreng tauco resep keluarga Rumah Batik Kidang Mas. Super!
Author
-
Pencinta budaya Cina di Nusantara, tinggal di Jakarta. Ia juga kerap menulis untuk beberapa media, salah satunya National Geographic Indonesia.