Laseman: Akhir Panggung Hidup Generasi

laem91

“Apakah tentang batiknya?”

“Apakah tentang arsitektur Tionghoanya?”

“Apakah tentang kerukunan etnis dan agamanya?”

Berbagai pertanyaan muncul tentang tema pemotretan, setelah menerima ajakan dari seorang teman baik saya—fotografer National Geographic Indonesia—untuk ikut ke Festival Laseman. Akhirnya, pilihan hati jatuh pada tema tentang “Generasi Tionghoa Lasem Saat Ini”.

Perjalanan menuju Negeri Tiongkok Kecil pun dimulai dengan merayapi Jalan De Grote Postweg; sebuah Jalan Pos yang agung peninggalan Daendels di pesisir pantai utara. Saya menelusuri jalan urat nadi transportasi Jawa ditemani oleh buaian angin laut yang panas, dengan pemandangan sejauh mata memandang adalah bentangan saujana ladang garam.

Sejarah Singkat Peranakan Tionghoa
Lasem adalah sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang masuk Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Boleh dibilang kota ini cukup kecil dan sepi, tetapi jejak sejarah kota tua ini sangatlah panjang. Tercatat dalam Babad Lasem karya Mpu Santri Badra pada 1479, Lasem termasuk dalam wilayah Pemerintahan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang Ratu Dewi Indu yang bertindak sebagai adipati. Kemudian, pada masa kolonial Belanda, kependudukan Jepang, hingga Orde baru, kota tua Lasem selalu menjadi perlintasan dan persinggungan sejarah yang penting.

lasem121

Sejarah Lasem tidak bisa dilepaskan dari para peranakan Tionghoa. Itulah yang membuat Lasem unik; sebuah kota kecil berkisar 110 km dari Semarang, di sisi pesisir timur Jawa, tetapi memiliki penduduk Tionghoa yang cukup banyak. Beberapa catatan sejarah berkaitan dengan asal-usul peranakan Tionghoa di Lasem adalah sebagai berikut.

  • Salah satu pelabuhan di masa Majapahit, selain Ujung Galuh (Surabaya).
  • Kota pelabuhan persinggahan dan perdagangan kapal dari Cina untuk menjual porselain dan membeli hasil bumi, seperti padi.
  • Pada abad 14, armada Laksamana Cheng Ho singgah di Lasem.
  • Pada abad 14, Bi Nang Un anggota awak kapal Laksamana Cheng Ho menetap di Lasem.
  • Na Li Ni, istri Bi Nang Un dari Campa, memperkenalkan batik peranakan Tionghoa.
  • Tahun 1740, pemberontakan Tionghoa terhadap VOC di Batavia menyebabkan pengungsian ke arah timur Jawa, salah satunya Lasem.
  • Tahun 1825, Raden Ayu Yudakusuma memimpin penyerangan Tionghoa di Ngawi, membuat Lasem jadi salah satu tujuan pengungsian.

Dengan sejarah panjang tentang peranakan Tionghoa di Lasem, kita dapat mudah menjumpai warga etnis Tionghoa yang membaur dalam keseharian, rumah-rumah kuno berarsitektur Tionghoa, klenteng-klenteng tua, dan batik dengan motif peranakan Tionghoa yang khas dengan gambar naga, burung hong, bunga seruni, dan warna merah darah (pewarnaan batik yang hanya ada di Lasem). Tak heran jika Lasem memiliki sebutan sebagai Kota Tiongkok Kecil.

Lasem juga terkenal dengan sebutan Kota Santri. Dua sebutan terkenal tersebut mencerminkan bahwa penduduk di Lasem yang multietnis dan multiagama dapat hidup berdampingan dengan harmonis sejak lama hingga sekarang.

lasem2

Festival Laseman
Laseman adalah sebuah festival budaya di Lasem yang baru pertama kali diadakan. Festival ini berlangsung pada 28-29 November 2015 di Desa Karangturi. Laseman yang mengusung tagline “Alon-alon Waton ke Lasem” adalah sebuah pergelaran budaya yang berkonsep meramu budaya asli Lasem, budaya kontemporer, dan pop anak muda.

lasem15

Tiga panggung telah disediakan dan tersebar di tiga tempat untuk berbagai agenda. Penonton tinggal memilih jadwal acara di tiap panggung yang diminati. Hari pertama, Laseman dimulai pada sore hari dan tiap panggung mulai dipadati oleh pengunjung baik dari Lasem sendiri, warga desa sekitar, bahkan dari luar kota lasem.

lasem131

Pergelaran ini juga menjadi kesempatan sebagai ajang berjualan bagi para pemilik rumah di sekitar panggung acara, pedagang keliling, maupun para sponsor acara, membuat suasana acara ini semakin meriah. Panggung budaya digelar sangat menarik dengan hadirnya para seniman, seperti Sujiwo Tejo, Anis Soleh Baasyin, Kyai budi Harjono, serta suguhan seni parade batik Lasem, wayang bengkong, Laesan, Tari Orek-orek hingga Absurd Nation, Semarang Ska Foundation, dan banyak lainnya.

Keluarga Opa Lo
Malam itu, menyusuri keramaian acara Laseman, kaki saya terhenti melihat di balik sebuah pintu gerbang pagar khas etnis tionghoa. Di sana, terlihat ruang tamu beserta perabotnya yang indah dan antik. Di depan pintu gerbang, duduk bersimpuh di lantai seorang tua berambut panjang yang telah memutih serta terlihat lusuh. Orang tua tersebut sedang melihat suasana keramaian pengunjung Laseman yang melintas di jalan depan rumahnya. Sedikit ragu, saya mendekati dan menyapanya. Ternyata, senyum ramah menyambut. Ia kemudian mempersilakan saya masuk, begitu saya menyampaikan kekaguman terhadap rumahnya. Hati terasa iba melihatnya berjalan tertatih, bungkuk, dan mengharuskannya sedikit merangkak untuk menaiki 3 anak tangga ruang tamunya. Gongongan anjingnya menyambut dan membuat saya berhenti melangkah, tetapi beliau mengatakan, “Ora popo ojo wedi, dhelok wae buntute nek obah-obah ngono artine seneng.” (tidak apa-apa liat saja ekornya, kalau dia mengibas-ibaskan ekornya berarti senang)

lasem9

Kami, di ruang tamu yang indah, duduk di kursi jati khas Jawa beranyam rotan. Beliau memperkenalkan dirinya sebagai Lo Geng Gwan, untuk kemudian disapa Opa Lo.

“Umurku pek cap lak (86 tahun).”

Opa Lo adalah sosok orang tua yang ramah dan senang bercerita. Sambil menunjukkan dua foto lelaki dan perempuan yang menempel di dinding teras, mengapit pintu masuk ruang dalam, beliau bercerita bahwa rumahnya dibangun oleh emak dan engkongnya itu. Rumah peninggalan emak dan engkongnya ini tidak mengalami perubahan hingga sekarang. Rumah ini pula pada masanya pernah menjadi salah satu pabrik penghasil batik Lasem.

lasem16

Oma wes turu jam sak mene, biasane iseh nonton TV (oma sudah tidur, jam segini biasanya masih nonton TV),” kata Opa Lo saat melintasi kursi malas, dengan bantal dan selimut yang terlipat rapi, di depan TV layar cembung. Opa Lo terus berjalan tertatih mengajak saya melihat ke ruang belakang di mana pada masanya jadi tempat para pengrajin batik membuat karyanya.

Pagi keesokan harinya, saya berkunjung kembali ke rumah Opa Lo. Di ruang tengah, saya menjumpai seorang perempuan tua duduk santai di dipan sambil melihat TV. Seulas senyum ramah menyambut ketika saya dipersilakan masuk untuk melihat kembali halaman belakang rumah. Perempuan itu adalah Oma Sri atau Oma Lim Luan Niang (86 tahun). Beliau adalah misan atau sepupu dari pihak keluarga ibu Opa Lo. Pada masa tuanya, beliau memilih tinggal bersama di rumah Opa Lo ini, cerita Bibi Minuk di halaman belakang.

lasem51

Saya mendengarkan cerita sambil menyeruput kopi hangat yang nikmat hasil seduhannya. Menanyakan perihal kopi tersebut, Bibi Minuk menimpali, “Itu kopi asli, koh. Saya yang menumbuk sendiri,” seraya memperlihatkan biji kopi utuh dari dalam toples aluminium antik. Tidak heran aroma dan rasa pahitnya yang legit terasa, karena berasal dari biji kopi yang disangrai sendiri, ditumbuk sedikit-demi sedikit sesuai kebutuhan, serta tetap memperhatikan cara menyimpan biji kopinya.

“Saya nggak tahu umur saya, koh, nggak tahu lahir tahun berapa?” sela Bibi Minuk, sebuah jawaban pada umumnya dari generasi tua yang tidak mengetahui/memiliki akte kelahiran. Namun, melihat rambutnya yang telah memutih, menunjukkan umurnya yang telah lebih dari 65 tahun.

lasem151

Bibi Minuk berasal dari  Tuban selatan dan telah mengabdi pada Keluarga Lo sejak 1977. Ia hidup sendiri, setelah suami dan anak tercintanya meninggal, membuat Bibi Minuk memilih merantau ke Lasem dan garis nasib akhirnya mempertemukan ia dengan Keluarga Lo. Kesetiaannya pada Keluarga Lo tidak perlu diragukan. Terbukti dengan penuh kesabaran dan perhatian Bibi Minuk tetap merawat dan menjaga generasi Keluarga Lo hingga sekarang.

Opa Lo menjalani hidup di Lasem dari muda hingga masa tua. Opa Lo memilih tidak meneruskan usaha batik keluarga. Mungkin pada masa itu, era keemasan batik telah meredup dan kurang memiliki prospek bisnis yang baik diterjang oleh era fashion pop Barat. Beda dengan masa sekarang di mana batik kembali menjadi tren fashion, baik untuk kalangan muda maupun tua. Terutama, sejak UNESCO menyatakan batik menjadi pusaka asli Indonesia dan pemerintah pun mencanangkan Hari Batik Nasional.

Opa Lo muda lebih senang menjalani bisnis transportasi hingga masa tuanya. Pundi-pundi tabungan pun telah tersisih seiring dengan tetes keringat tuanya. Namun, nasib berkata lain. Opa Lo terlalu percaya pada teman bisnisnya dan akhirnya pundi-pundi tabungan yang terkumpul untuk hari tuanya pun amblas! Hal inilah yang membuat Opa Lo sering larut pada kekecewaan yang mendalam, dan lebih sering merenung di balik senyum ramah dan cerianya.

lasem6

“Opa berapa banyak cucunya sekarang?” tanya saya, seperti pada umumnya basa-basi pada orang tua yang telah menyandang sebutan Opa.

“Opa nggak punya anak dan cucu. Opa tidak menikah,” jawab Opa Lo menimpali pertanyaan saya.

Menurut penuturannya, Opa Lo adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami istri Keluarga Lo. Dengan demikian menjadikan Opa Lo adalah generasi terakhir dari garis keturunan keluarganya. Saat ini, di masa tuanya, Opa Lo mendapatkan perhatian dari para keponakan sepupunya yang tinggal di Surabaya.

Seperti cerita yang beredar bahwa generasi muda peranakan Tionghoa di Lasem lebih banyak mengadu nasib ke kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, mengakibatkan rumah-rumah indah berarsitektur peranakan Tionghoa hanya dihuni oleh para sepuh. Beberapa rumah bahkan dibiarkan kosong dan rusak. Seperti terpapar dalam cerita tersebut, keadaan ini pun mulai menerpa dan mengikis sedikit demi sedikit generasi terakhir Keluarga Lo. Rumah indah asli peranakan Tionghoa itu kini hanya dihuni oleh tiga sepuh yang mengisi “nyawa” sebuah rumah. Mereka bertiga masih tetap setia menghangatkan panggung hidup dengan lakon Generasi Peranakan Tionghoa Lasem. Opa Lo, Oma Sri, dan Bibi Minuk seakan menanti takdir sang waktu, kapan panggung hidup generasi terakhir Keluarga Lo tutup “kelir” tirai panggungnya.

Sedih, tetapi itulah panggung hidup!

lasem7

 

Camera Gear:
Nikon DF, Lensa AIS 28mm f/2.8

Berbagai Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Lasem,_Rembang
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/kekunoan-lasem-dalam-kekinian
http://titdtrimurtilasem.blogspot.co.id/2011/07/sejarah-kota-lasem.html
http://rumahbatiklasem.com/blog/sejarah-batik-lasem/

 

(Tulisan ini juga terbit di website www.stephanushannie.com)

http://stephanushannie.com/2015/12/09/laseman-akhir-panggung-hidup-generasi/

Ingin bergerak bersama #kesengsemlasem?

Kami selalu menantikan kawan-kawan lain yang berminat untuk bergerak bersama #KesengsemLasem. Bagikan pengalaman dan foto kamu kepada masyarakat luas dengan mengirimkan artikel dan foto kamu sekarang!

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *