Saya sendiri percaya, kita berada dalam perjalanan yang bakal seru ketika kita berulang-ulang kali dibuat terkejut oleh berbagai macam elemen di sekeliling kita. Seolah alam semesta mendukung kita untuk memenuhi afeksi kita yang besar terhadap sesuatu. Mungkin, seperti Alan Turing yang akhirnya berhasil memecahkan enigma. Atau, seperti saat saya bisa coba kuliner langsung di Lasem.
Lasem adalah kota yang sejak lama ingin saya datangi. Bahkan, sudah berbulan-bulan lalu, saya berkontak-kontakan dengan Baskoro alias Mas Pop dari @LasemHeritage via WhatsApp. Sebagian besar dari percakapan itu adalah pertanyaan saya yang banyak tentang Lasem; sejarah, masyarakat, sampai tempat-tempat menariknya. Tapi lalu percakapan terhenti. Kerjaan-kerjaan yang lain saling salip. Tahu-tahu sudah setahun sejak saya meributkan Lasem. Sampai akhirnya, saya ngobrol dengan seorang kawan bernama Agni Malagina (Agi) yang ternyata punya rencana ke kota di Jawa Tengah itu. Ia sedang ada assignment untuk Majalah National Geographic Indonesia bersama Feri Latief (fotografer).
Saya merasa gayung saya ada yang sambut. Akhirnya, ada juga teman untuk berangkat ke kota yang dikenal dengan batik lasemannya itu.
Saya masih sempat ragu-ragu saat merencanakan keberangkatan waktu itu. Karena semua serba mendadak. Tapi, sekali lagi, semesta seperti mendukung. Proses persiapan ke Lasem dilancarkan. Tiket pesawat tersedia. Penginapan juga sudah disiapkan, dan… ternyata gratis. Serta, tahu-tahu ada satu kawan Agi yang ikut ke Lasem bernama Ellen Kusuma. Orang yang ternyata saya kenal juga, teman seperjalanan saat ke Australia. Ragu-ragu berubah jadi excitement.
Praktis, ini adalah kali pertama saya datang ke Lasem. Setiap yang pertama kali, pasti bikin deg-degan. Seperti perasaan menunggu giliran ujian lisan saat SMA. Atau, rasa gugup menghadapi presentasi besar. Semacam itulah. Tapi, begitu turun dari Patas AC, memasuki gang kecil pemukiman di Lasem, deg-degan hilang. Mungkin ketinggalan di kursi Patas. Yang tersisa cuma senang, dan pantat yang mati rasa (dari Semarang ke Lasem saat itu makan waktu 5 jam perjalanan karena macet akibat perbaikan Jalan Raya Pantura).
Lasem seketika membuat saya kagum. Juga, ia membuat saya betah. Selain rumah-rumah kuno yang kebanyakan sudah ada di kota ini sejak abad 14, ada satu lagi kebahagiaan yang ditawarkan oleh Lasem. Yaitu, makanan. Agi dan Ellen yang sudah berkali-kali ke Lasem cuma cengar-cengir melihat saya menari hula-hula (hanya ungkapan) setiap kali makan. Sebab, semua makanan yang kami datangi, enak-enak. Lezat-lezat. Saya seperti merasakan orgasme di mulut (sekali lagi, hanya ungkapan) setiap habis makan.
Mungkin, yang bikin saya akhirnya datang ke tempat-tempat makan yang tepat adalah karena ada Agi dan Ellen. Mereka kebetulan sudah mengenal dengan baik warga Lasem, seperti Opa Gandor, Mas Pop, atau Om Bagio, yang sejatinya warkamsi (warga kampung situ), paham betul mana-mana saja tempat makan yang menyuguhkan sajian mantap.
Sebagian besar tempat makan bintang-bintang yang saya maksud di atas, berbentuk warung sederhana atau bahkan ‘hanya’ warung tenda.
Ini daftar kuliner di Lasem yang bisa kamu coba
Beberapa ada yang memang kuliner atau masakan khas Lasem atau Rembang, seperti lontong tuyuhan atau Kawista. Beberapa yang lain jenis makanan biasa, seperti nasi rames atau gulai. Meski demikian, saya merasa perlu berbagi kenikmatan ini—lepas dari persoalan khas atau tidaknya makanan ini. Selamat kulineran di Lasem.
Warung Jenghai
Kehidupan warga Lasem dekat dengan kopi dan warung kopi. Sedekat hidung dan bibir. Atau, Mampang Prapatan dan Duren Tiga.
Warung kopi adalah tempat warga bersilaturahmi; ngopi sembari ngobrol tentang apa pun.
Warung favorit saya, Agi, dan Ellen selama di Lasem adalah Warung Jenghai di Jalan Karangturi. Setiap pagi selama di kota ini, kami sarapan di Jenghai. Mulai dari nasi campur, gorengan, ketan, sampai tentu saja kopi hitam. Saat menuliskannya sekarang ini saja, saya membayangkan gurih dan kenyalnya ketan Jenghai yang cocok disantap bareng kopi. Sluruppp…
Lontong Tuyuhan, Desa Tuyuhan, Pamotan
Bayangkan irisan lontong disiram oleh kuah opor ayam kampung. Hasilnya, mantap betul. Entah bagaimana caranya, ayam kampung yang biasanya cenderung alot, di sajian Lontong Tuyuhan ini, begitu empuk. Kuahnya pun gurih dan sedap.
Tempat makan yang ada di Desa Tuyuhan, Pamotan, ini selalu ramai pengunjung. Karena itu juga, ia cepat habis. Maka dari itu, jangan terlampau sore jika ingin menikmati lontong ini.
Di sini juga saya pertama kali mencoba minuman khas Lasem, yaitu Es Sirup Kawis. Rasanya agak unik, tapi enak. Sebetulnya, untuk minuman kawis, saya lebih suka es kawis yang berbentuk kemasan botol bermerek Kawista. Rasanya agak bersoda. Segar.
Chinese Food Cita Rasa
Terletak di tepi Jalan Raya Lasem yang termasuk Jalan Raya Pos-nya Daendels, Cita Rasa hanya berbentuk warung tenda dengan meja dan kursi panjang yang tidak lebih dari lima buah. Warung makan ini mulai buka pada sore hari hingga malam.
Meskipun sederhana, rasa masakan Cina di tempat makan ini sama sekali memuaskan napsu makan. Mulai dari cumi goreng tepung, udang saus tiram, tumis-tumis sayur, sampai ayam goreng mentega, semua enak! Saya saja sampai bingung.
Warung Makan Bu Tri
Salah satu jenis rumah makan di Lasem yang bertebaran di mana-mana adalah mereka yang menjual nasi dengan beragam lauk-pauknya. Warung Makan Bu Tri di Jalan Sunan Bonang adalah satu tempat yang patut dikunjungi. Meskipun kecil, tetapi Bu Tri menyajikan lauk-pauk yang nikmat, mulai dari bakwan jagung, sayur sop, ikan goreng, sampai kelo merico (masakan khas Pantura yang terbuat dari kepala ikan manyung yang dimasak kuah dengan merica dan cabai serta irisan pepaya muda).
Saya sempat makan siang di sini, memesan cumi hitam, sambal terasi, bakwan jagung. Minumnya? Es Soda Gembira. Oh yes!
Warung Mbok Temi, Jalan Kajar
Kalau mau memilih yang paling favorit, saya bakal menyebut Warung Mbok Temi pasti. Berupa warung gubuk sederhana, Mbok Temi menyajikan nasi dan lauk-pauk yang berjajar di meja. Mulai dari rawon, soto, mendoan, balado kikil, sampai yang paling juara adalah cumi hitam.
Mbok Temi bisa membuat kita terbayang-bayang betapa lezat masakan yang ada di sana, bahkan ketika kita sudah pulang ke kota masing-masing. Dan, yang lebih luar biasanya, walaupun sepertinya sudah makan banyak gila-gilaan, biaya yang dikeluarkan ternyata kecil.
Tidak hanya di Mbok Temi, sebetulnya, rata-rata harga makanan di tempat makan-tempat makan di Lasem sangat murah. Seperti malam itu, saya makan soto, sate kikil, cumi hitam, mendoan, nasi putih, es teh manis, dan udang goreng hanya habis Rp10 ribu!
Pop Chicken
Rumah makan yang terletak di Jalan Jatirogo bisa dibilang adalah restoran paling modern di Lasem. Ia berbentuk rumah toko, dengan sajian menu ala Barat, seperti ayam goreng, kentang goreng, sampai menu lokal, seperti nasi goreng dan kwetiau.
Satu hal yang membikin saya mempertimbangkan untuk mampir di sini sebetulnya bukan karena makanannya—walaupun setelah dicoba, ternyata fried chicken-nya cukup enak—, tetapi lebih karena Pop Chicken ini adalah satu-satunya tempat publik yang menyediakan Wi-Fi gratis.
Rumah Makan di Rembang
Keluar dari Kota Lasem, sekitar 1 lewat jalan aspal, kita akan tiba di Rembang. Nah, di kawasan ini, setidaknya ada dua tempat makan yang saya coba. Dan, tentu saja, sekaligus kali ini akan saya sebutkan.
Rumah Makan Seafood Hien
Rumah makan ini besar, selayaknya restoran yang biasa kita temukan di Ibukota. Hien di Jalan Gambiran, Rembang, ini menyajikan beragam menu, mulai dari seafood, ayam, bakmi, sampai tumis sayur. Di sini juga tersedia Kawista—es kawis soda dengan kemasan botol. Segar bukan main.
Warung Makan Bahagia Sate dan Gule Kambing
Belum apa-apa, saya sudah membayangkan hangatnya kuah gulai kambing di warung ini. Lalu, tulang-belulang yang terendam dalam kuah tersebut, yang di dalamnya berisi sumsum melimpah. Di piring satunya, ada juga sepuluh tusuk sate kambing dengan bumbu kecap, lengkap dengan irisan tomat, bawang merah, dan cabe rawit.
Warung berbentuk gubuk sederhana ini terletak di Jalan Pamotan, Rembang. Menu yang paling terkenal, dan selalu yang paling pertama habis, adalah gulai sumsum. Beruntung, saya kala itu masih kedapatan satu porsi gulai sumsum. Kuahnya pedas manis gurih, dan saat menyeruput sumsum yang sontak lumer di mulut, hidup rasanya sempurna sudah.
Daging kambing pada satenya juga memuaskan; dengan potongan daging yang besar-besar serta teksturnya yang empuk. Hanya saja, perlu hati-hati bagi yang memiliki darah tinggi atau kolesterol. Jangan makan terlalu banyak.
Baca juga artikel lain tentang Kuliner Lasem.
Well, hal mengejutkan dalam perjalanan saya kali ini ternyata adalah makanan. Saya yang sebetulnya tidak terlalu suka makan, jadi menggila dan tidak bisa berhenti mengunyah selama di Lasem.
Selamat mencoba makanan-makanan di atas, ya, jika memutuskan datang ke kota ini. Kuliner di Lasem patut buat diperjuangkan. Semoga bahagia selalu.
Author
-
Ia adalah penggemar berat sastra, terutama sastra Indonesia. Setelah mundur dari profesinya sebagai jurnalis, sekarang ia menikmati pekerjaannya sebagai pekerja paruh waktu. Kebanyakan sebagai travel writer, blogger di renjanatuju.com, scriptwriter film pendek, copywriter iklan, penulis fiksi, dan kontributor di pelbagai majalah.