Jikalau sedang berada di Lasem, mampirlah makan malam di Warung Nasi Goreng Pak Munakir.
Warung yang menyediakan menu nasi bakmi bihun goreng, capcay, atau kwetiau kuah itu terletak di trotoar seberang kantor Polisi Sektor Lasem. Catat jam operasionalnya; jam 18.30 sampai jam 24.00. Kadang-kadang, bahan makanan sudah habis sebelum jam tutup biasanya. Maka, Pak Munakir akan menutup warungnya lebih awal.
Saya sempat mencoba nasi goreng tidak pedas dengan suwiran daging ayam dan telur campur yang gurih plus taburan acar timun. Tak lupa, saya tambahkan kerupuk. Tersedia juga menu nasi mawut–nasi goreng yang ditambahi aneka sayuran. Menarik, paling tidak, saya merasa tidak terlalu berdosa makan malam menu nasi goreng karena masih bisa makan sayur yang tercampur dalam menu tersebut.
Pak Munakir (68) membuka warungnya sejak 1996 bersama sang istri, Ibu Juwati. Munakir rupanya bermigrasi dari Kediri ke Lasem, lalu menikah dengan wanita pujaannya asal Punjulharjo. Sejak 1960-an, Munakir belajar memasak di Malang.
“Aku belajar di Comboran sama orang Cina, Mbak. Masak di Jakarta, lalu pulang ke Kediri. Terus ke Probolinggo dan Pasuruan. Masak juga kok itu.”
“Dulu sempet kerja mebel di Pasuruan. Terus ke Lasem, tahun 1996 buka warung, langsung rame lho. Duh, masih ingat dulu ramenya. Dulu, aku jual lomie juga. Bumbunya, ya, disesuaikan dengan daerah dan selera di Lasem,” ujarnya bercerita dengan semangat mengenang masa-masa awal kejayaannya sambil menemani saya makan nasi goreng.
“Kuncinya itu kecap, lho. Dulu aku pake kecap Raja Rasa, tapi sekarang ganti pake kecap Siwalan buatan Rembang. Masakannya ciaaa banget, itu paling enak. Aku pernah diajak bos ke Bali, tapi kutolak. Di Lasem wae,” ujar lelaki yang paling senang masak Puyunghai, tapi sayang, ia tak lagi menyediakan menu hidangan telur kuah asam manis tersebut.
“Aku biasanya Senin malam Selasa libur, yo. Atau kalau cape ya libur,” pungkas Munakir.
Ayo, kalau teman-teman sedang bermalam di Lasem, coba nasi goreng chef Munakir ya.
Author
-
Pencinta budaya Cina di Nusantara, tinggal di Jakarta. Ia juga kerap menulis untuk beberapa media, salah satunya National Geographic Indonesia.