Siapa pernah ke Lasem atau minimal mendengar tentang Lasem, bisa dipastikan tahu tentang bangunan ikonik di sana: Lawang Ombo.
Saya mendengar tentang Lawang Ombo dari acara seram di televisi yang terkenal dengan sesi uji nyalinya. Waktu itu, rumah bergaya Cina ini digunakan sebagai lokasi untuk menguji seberapa besar nyali seseorang. Alasannya, tentu saja, apa lagi kalau bukan karena rumah ini dianggap berhantu. Sebenarnya, tidak heran alasan ini dapat mengemuka.
Pasalnya, Lawang Ombo adalah rumah kuno di Lasem yang sudah berdiri ratusan tahun lamanya, dan sudah lama pula tidak ditinggali. Ditambah lagi, di samping rumah terdapat makam-makam pemilik terdahulunya.
Lebih dari sekadar mendengar, saya juga berkesempatan untuk melihat langsung, bahkan bermalam di Lawang Ombo. Saya mengunjungi Lasem untuk kali pertama sekitar awal Februari 2016. Saya berangkat dengan tim Kesengsem Lasem, yang membiarkan saya betulan kesengsem dengan Lasem. Yang menarik perhatian saya lebih dulu, tentu saja Lawang Ombo ini.
Kami tiba di Lawang Ombo ketika matahari sudah padam. Bayangkan betapa bulu kuduk saya berdiri semua. Namun, demi menjaga gengsi, saya memasang air muka tenang, padahal hati berdebar tidak keruan. Menariknya, ketika benar-benar turun dan menapakkan kaki tepat di teras Lawang Ombo, perasaan takut malah berubah takjub. Rumah ini…
Mbak Agi, dari Kesengsem Lasem—yang juga dosen saya, ketika itu mengatakan bahwa lantai di rumah ini terbuat dari terakota. Saya sendiri tidak familiar dengan arti terakota. Yang saya tahu terakota adalah nama pasukan zaman dulu yang terkenal di Cina sana. “Lebih kuat dari tegel,” tambahnya, diikuti “he-he-he”. Sementara saya hanya bisa bingung dan mengeluarkan suara oh yang terdengar panjang serta penuh keraguan.
Lantai Lawang Ombo berbentuk kotak besar-besar. Warnanya barangkali merah bata, sebagian sudah lusuh. Dan, ini yang membuat saya yakin kalau umurnya sudah ratusan tahun lamanya.
“Di sini ada ukiran hanzi-nya (aksara Cina),” kata Mbak Agi lagi sambil menunjuk-nunjuk lantai itu, memastikan letak tepatnya ukiran yang dimaksud.
“Ah, kalau malam tidak kelihatan. Besok, deh.” Urusan lantai terakota ini biarlah jadi perbincangan esok hari.
Kusen pintu dan jendela di Lawang Ombo menarik perhatian saya kemudian. Terbuat dari kayu, dengan ukuran yang super besar. Inilah alasan rumah ini dinamakan Lawang Ombo (pintu besar)—membuat rumah ini terlihat gagah sekali. Pada daun pintu yang dua itu, terukir aksara Cina. Sehingga menambah kesan “malam ini saya sedang berada di sebuah rumah tradisional, di Cina”.
Lelah perjalanan ternyata tidak menyurutkan rasa penasaran saya untuk menjelajah rumah ini. Setelah meletakkan barang bawaan di kamar tidur bersama, saya buru-buru keluar lagi. Rumah dengan konstruksi besar-besar ini, sesungguhnya bagian dalamnya tidak sebesar yang dibayangkan. Terdapat dua kamar saja, satu kamar besar untuk tidur, satunya kamar yang lebih kecil untuk tempat menyimpan bahan pemujaan, seperti hio. Di tengah rumah terdapat meja altar untuk pemujaan leluhur yang ukurannya juga besar. Foto-foto keluarga pemilik rumah ini tergantung di tembok. Merapat dengan tembok di sisi kanan, terdapat sebuat kursi kayu panjang berwarna coklat tua dengan ukiran naga berwarna emas di atasnya.
Kamar mandi! Di mana kamar mandi? Tidak di dalam rumah, melainkan di belakang kanan, terpisah dari rumah. Takjub seketika berubah lagi menjadi takut. Saya perlu ke kamar mandi, dan sangat perlu ditemani. Bagaimana tidak, bagian belakang rumah inilah yang ternyata menjadi tempat uji nyali yang saya ceritakan di atas. Tepat berseberangan dengan rumah utama, berdiri sebuah bangunan terpisah. Tanpa lampu, gelap sekali di sana.
Diceritakan bahwa lubang yang terdapat di lantai bangunan itu adalah lubang masuk lorong untuk menyelundupkan candu ke Lasem pada zaman dahulu.
Saya tidak berniat melihat ke sana. Sudah terlanjur merinding! Saya memilih jalan cepat-cepat ke kamar mandinya saja, dan secepat mungkin menyelesaikan urusan biologis ini.
Segala urusan biologis selesai. Menjelajah rumah juga selesai. Saat menjelajah alam mimpi. Jangan bayangkan tidur di Lawang Ombo beralaskan ranjang kuno yang keras. Kami tidur di atas spring bed yang nyaman ditambah dengan semilir udara dingin pendingin ruangan. Memang, sentuhan kenyamanan ini tidak padan dengan nuansa klasik yang ada di Lawang Ombo. Tapi tanpanya—terutama pendingin ruangan, kami harus siap tidur kegerahan. Kalau membuka jendela, harus siap tidur gatal-gatal karena gigitan nyamuk yang datang dari luar. Ah, saya tertidur…diiringi gonggongan anjing penjaga di luar. Syahdu.
Bagi saya, bermalam di Lawang Ombo bukan sekadar urusan tidur, namun juga sensasi antara takut dan takjub. Dan, percayalah, takjubnya akan lebih banyak!
***
Kontributor Kesengsem Lasem
Suwanti, mahasiswi semester 7 Prodi Cina FIB UI