Saya memperkirakan rumah kuno ini dibangun pada akhir abad ke-18. Pemiliknya adalah seorang pejabat rendah asal Cina yang bergelar dengshilang bernama Lim Cui Soon. Ketika saya membaca batu kubur—atau bong—makam Lim, saya menduga ia adalah pemilik Lawang Ombo yang pertama, Lim pun terbaring di tempat peristirahatannya yang terakhir tepat di samping rumah.
Matahari sore mulai lingsir di Lasem. Sosok lelaki tua melambaikan tangan di depan pintu besi sebuah rumah kuno berlanggam arsitektur Cina dengan atap bergaya ekor walet, lambang kesejahteraan. Lelaki itu, Karlan, seorang penjaga yang ramah. Ia mempersilakan kami masuk ke hamparan beranda berlantai terakota. Rumah itu tenar dengan nama Lawang Ombo—frasa dalam bahasa Jawa yang artinya “Pintu Besar”.
Kusen pintu utamanya sungguh besar, selebar badan saya. Tingginya hampir dua kali tinggi gawang sepak bola, dan lebarnya sekitar tiga meter. Ukuran kusen pintu dan jendelanya menjadi tengara yang membedakan dengan kusen-kusen rumah klasik di sudut-sudut Pecinan Lasem—Gambiran, Babagan, dan Karangturi.
“Banyak cerita-cerita seram, kata orang-orang pernah dengar suara kuda tengah malam, ini itu, tapi Pak Lan sih belum pernah ngrasain apa-apa, Mbak,” ujar Pak Lan dengan wajah sumringah berusaha meyakinkan kami untuk berlama-lama singgah dan bahkan menginap di Lawang Ombo.
Lawang Ombo bertetangga dengan Klenteng Cu An Kiong, klenteng utama dan tertua di Lasem. Di sekitarnya masih ada segelintir rumah serupa, sehingga kawasan ini diduga merupakan tapak permukiman awal Cina Lasem.
Saya dengar dari warga setempat bahwa Lawang Ombo sohor memiliki kisah mistis di seantero Lasem sebagai tilas rumah candu. Perdagangan candu memang pernah menggurita di pesisir utara Jawa pada awal abad ke-19. Candu dikonsumsi rakyat jelata hingga kaum ningrat di Jawa.
Sebuah sungai tua yang dikenal dengan nama Sungai Lasem mengalir tepat di depan rumah candu itu. Warga meyakini terdapat jalan bawah tanah yang menghubungkan sungai dengan rumah candu. Saya pun menyaksikan sebuah lubang di sayap kiri rumah itu, yang konon digunakan untuk menyelundupkan candu.
Saya berkesempatan untuk bermalam di rumah kuno milik Soebagio Soekidjan, 53 tahun, yang nama sejatinya Tjoo Boen Hong. “Rumah Lawang Ombo itu milik keluarga Lim, dari garis mama saya,” ujar Boen Hong kepada saya.
Boen Hong merupakan cucu luar keturunan Lim Cui Sun generasi keempat. Dia membeli dari kakak sang ibunda sekitar satu dekade silam. Salah satu keinginan Boen Hong adalah bisa turut menjaga warisan keluarga. “Masih ada altar pemujaan keluarga,” ujar Boen. “Saya biasa sembahyang di sana.”
Dahulu, mamanya yang bernama Lim Mertjies Nio kerap bersembahyang di rumah ini. Sejak lima tahun silam Boen meneruskan tradisi sembahyang di Lawang Ombo, menggantikan kebiasaan mamanya yang kini telah berusia 90 tahun. “Saya sembayang untuk keluarga mama dan juga sembahyang untuk keluarga papa,” ungkap Boen.
Boen sempat membawa kami mengunjungi tiga rumah kuno lain miliknya, salah satunya bergaya Indische Empire dengan empat pilar. Dia membelinya dari orang lain, tidak ada hubungan keluarga. “Saya kok nggak tega lihat bangunan itu nggak ditempati,” ujarnya. “Setidaknya saya mau supaya bangunan-bangunan kuno di Lasem tidak habis.”
Tiada catatan pasti mengenai kapan berdirinya rumah beratap ekor walet lambang kesejahteraan itu. Rumah bergaya khas arsitektur daerah Fujian tersebut tampat anggun walaupun beberapa bagian bangunannya rusak dan tidak ditempati sejak satu dekade lalu.
Saya memperkirakan rumah Lawang Ombo ini dibangun pada akhir abad ke-18. Pemiliknya adalah seorang pejabat rendah asal Cina yang bergelar dengshilang bernama Lim Cui Sun. Ketika saya membaca aksara Cina di batu kubur—atau bong—makam Lim, saya menduga dia adalah pemilik Lawang Ombo yang pertama. Lim terbaring di tempat peristirahatannya yang terakhir tepat di pekarangan samping rumahnya.
Bong tersebut bertarikh 1827 dan meyuratkan bahwa Lim berasal dari Hu Shan di Provinsi Shandong. Saya memadukan informasi itu dengan keterangan pada papan arwah yang tersimpan di altar keluarga Lim.
Papan arwah menyebutkan bahwa Lim lahir pada 1778, dan meninggal pada 1827 dalam usia 50 tahun. Salah satu anak laki-lakinya bernama Lim Ki Siong adalah Kapitan Cina pertama di Lasem yang menjabat dari 1837 hingga 1855. Dia tercatat dalam Almanak van Nederlandsch Indië voor 1837. Makam tua ini kini masih terjaga, ia selalu dalam keadaan bersih di antara pepohonan jati yang tersebar halaman rumah Lawang Ombo.
Lawang Ombo saat ini menjadi salah satu tujuan kunjungan wisatawan atau pelancong yang ingin menikmati kota tua Lasem. Sebagai rumah tua yang memiliki sejarah, kisah, dan nuansa kekunoan, Lawang Ombo memang menyimpan banyak potensi terutama bidang pariwisata dan kegiatan komunitas. Namun, jarak kota Lasem dengan Semarang dan Surabaya cukup jauh sehingga pelancong perlu ekstra waktu dan biaya untuk mencapai Lasem. Semoga saja pemerintah dapat merencakan mengaktifkan kembali jalur kereta api menuju Lasem atau membuat bandara khusus pesawat sedang di daerah Blora atau Tuban. Yaaa….ini harapan penulis saja.
Author
-
Pencinta budaya Cina di Nusantara, tinggal di Jakarta. Ia juga kerap menulis untuk beberapa media, salah satunya National Geographic Indonesia.