Ia kerap disebut Petit Chinois, atau China Kecil. Sementara, orang Eropa di zaman kolonial Belanda menyebutnya The Little Beijing Old Town. Sebab, kota ini mengingatkan mereka pada Negara Tirai Bambu.
Dilewati oleh Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) yang dibangun pada 1807 di bawah perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, Lasem adalah kota kecil di Tanah Rembang yang bangga akan kebersahajaannya. Lalu, apa yang bisa kita lakukan di Lasem?
Mengagumi Rumah-rumah Pecinan Klasik
Begitu pertama kali tiba di Lasem, kita akan bisa melihat komplek-komplek pemukiman Pecinan klasik. Rumah-rumah berjajar rapi di kiri-kanan, dengan pagar tembok nyaris setinggi rumah. Lalu, tepat di bagian tengah pagar, ada pintu besar—biasanya terbuat dari kayu atau besi—dengan bentuk menyerupai gapura. Beberapa pintu tersebut memiliki huruf-huruf kanji besar-besar bertuliskan kata-kata bijak. Bagaimana ceritanya ada perkampungan Pecinan di Lasem?
Lasem memang dulunya jadi salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Ia terletak di dekat pantai. Ada pelabuhan ramai bernama Pelabuhan Lasem yang menjadi rute perlintasan kapal-kapal, termasuk kapal pedagang asing, seperti Tiongkok dan Campa (dulu menguasai Vietnam).
Banyak pedagang Tiongkok dan Campa itu kemudian menetap di Lasem, pertama kali di Jalan Babagan. Ini terjadi sekitar abad 14-15. Mereka lalu beranak-pinak di Lasem.
Kini pemukiman Pecinan tersebar di beberapa wilayah di Lasem tidak hanya di Babagan, seperti di Jalan Karangturi, Jalan Soditan, atau Jalan Dasun. Beberapa rumah masih terpelihara dengan baik. Beberapa lagi yang lain, sayangnya, tidak.
Rumah-rumah Pecinan ini sebagian besar berasal dari era tersebut. Sempatkan masuk ke balik pagar tinggi tersebut, dan amati rumah yang sudah bergenerasi-generasi kukuh berdiri. Mulai dari atapnya yang berbentuk seperti pelana dengan ujung melengkung (Ngang Shan), teras tempat berkumpulnya seluruh keluarga, altar doa di ruang tengah, rumah induk, lalu ke rumah di bagian belakang.
Sempatkan pula tidak hanya melihat-lihat rumah, tapi juga berbincang-bincang dengan para penghuni rumah. Seperti misalnya, dua bersaudara Opa Lo Geng Gwan dan Oma Lim Luang Niang, Sie Lwie Djan yang sama-sama berumah di Jalan Karangturi, atau Opa Lie Hinj Djoen yang tinggal di Jalan Babagan adalah orang-orang yang seru diajak ngobrol.
Menyaksikan Hidup Panjang Klenteng-klenteng Tua
Kisah tentang hidup panjang tidak cuma terjadi pada manusia. Tapi, juga pada bangunan-bangunan yang tidak punya mulut, tapi bicara banyak. Di Lasem, jangan lewatkan untuk mendatangi tiga klenteng tua yang memiliki cerita sejarah panjang.
Pertama, Klenteng Poo An Bio di Jalan Karangturi. Ia didirikan seiring perkembangan warga Tionghoa di kawasan Karangturi. Letaknya tepat di tepi Kali Lasem.
Kedua, Klenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan No. 7 yang berwarna merah terang. Merah memang warna merah (menyimbolkan api dan darah) jadi warna keberuntungan warga Tionghoa. Simbol kemakmuran, kebenaran, juga kebajikan, kata mereka.
Gie Yong Bio kabarnya dibangun pada 1780 untuk menghormati para pahlawan Lasem, yaitu Oey Ing Kiat, Tan Kee Wie, dan Raden Panji Margono, yang gugur dalam perang melawan VOC pada 1742 dan 1750. Di klenteng ini, terdapat tiga altar suci untuk ketiganya. Perhatikan dinding-dinding klenteng yang penuh dengan lukisan serupa komik. Menakjubkan.
Raden Panji Margono adalah orang Jawa pertama yang dipuja bak dewa-dewa, seperti Gie Yong Kong Co dan Hok Tik Tjeng Sien.
Terakhir, Klenteng Cu An Kiong, disebut sebagai klenteng tertua di Lasem, yang terletak di jalan yang juga tertua di Lasem; Jalan Dasun. Memang tidak ada tahun pasti tentang kapan dibangunnya klenteng ini. Ia sempat mengalami renovasi berkali-kali, maka itu bangunannya terlihat lestari. Ada beberapa prasasti dan papan bertulis di dalam klenteng, yang berisi sejarah warga Tionghoa di masa lalu. Kemegahan yang misterius.
Baca juga: Klenteng Cu An Kiong Lasem
Jatuh Cinta pada Batiknya Lasem
Batik memang selalu punya cerita menarik. Tidak terkecuali batik di Lasem. Bagi Lasem, batik adalah budaya yang pertama kali diperkenalkan justru oleh orang asing. Menurut Kitab Badrasanti (1478 M), sekitar 1420 M, anak buah kapal Zeng He (Cheng Ho) bernama Bi Nong Hua dan sang istri, Na Li Ni dari Kerajaan Champa, memutuskan tinggal di Lasem. Sang istri lalu memperkenalkan teknik membatik kepada warga Lasem. Tidak heran, warna merah pada batik Lasem (abang getih pithik) jadi ciri khas batik Lasem.
Kini, batik Lasem mengalami perkembangan, mulai dari warna sampai motif. Karena itu, kita mengenal warna Bang-bangan (merah), Tiga Negeri (merah-biru-cokelat), Bang-Biron (merah-biru), Es Teh atau Sogan (kekuningan), Biron (biru), dan Empat Negeri atau Tiga Negeri Ungon (merah-biru-soga-ungu); juga motif mulai dari burung hong (phoenix), naga, koin uang, sampai Pasiran Kawung, Kawung Babagan, dan Sido Mukti.
Pengrajin batik bisa kita temukan di Jalan Babagan. Sementara, beberapa merek dagang yang terkenal di Lasem adalah Pusaka Beruang, Maranatha, atau Padi Boeloe. Harganya berkisar Rp150 ribu hingga jutaan. Sungguh bikin ingin belanja banyak!
Baca juga: Lasem, si Kota Batik
Ke Pantai Caruban atau Karangjahe
Kawasan pesisir semestinya tidak dijadikan prioritas jika berkunjung ke Lasem. Beberapa pantai, seperti Pantai Caruban dan Karangjahe, kerapkali terlalu ramai di saat akhir pekan. Tapi, bolehlah jika memang membutuhkan angin segar.
Kita akan melewati ladang-ladang garam sepanjang perjalanan ke Caruban dan Karangjahe. Untuk kemudian, dilanjutkan jalan kaki sejenak melewati tepi muara yang ditumbuhi oleh bakau. Tidak lama, kita akan sampai di pantai yang di tepiannya tumbuh pohon cemara yang berderet-deret.
Pasir yang agak kecoklatan dengan air laut yang kelabu adalah lanskap yang kita lihat di dua pantai itu. Di sore hari, kadang-kadang ada beberapa orang menarik jala mereka, melihat berapa banyak ikan yang tertangkap. Di muara setiap sore, beberapa kapal pulang dengan bunyi motor kapal yang keras.
Saya pribadi lebih senang datang ke pantai menjelang sore, menggelar kain di pasir, menyalakan musik yang cocok, lalu rebahan. Jangan lupa membawa kopi hitam yang bakal dinikmati di tepi pantai. Kalau yang tidak suka bersantai, bisa memilih menyewa ATV mini untuk digunakan menyusuri sepanjang Caruban. Harganya sekitar Rp10.000/ jam.
Mengintip Rumah Candu
Lubang besar di tengah-tengah rumah untuk menyeludupkan candu? Well, siapa yang tidak penasaran jika ada yang mengajak kita untuk melihatnya? Lubang ini ada di Lawang Ombo (Pintu Besar), bangunan yang dibangun sekitar 1860-an untuk dijadikan tempat tinggal. Pemiliknya adalah seorang Tionghoa bernama Liem Kok Sing—saudagar sukses di Lasem.
Di masa lalu, candu adalah salah satu barang dagangan yang diminati, mungkin setelah rempah-rempah. Nah, Liem Kok Sing berbisnis perdagangan candu. Lawang Ombo jadi markas penyimpanannya. Karena itu, Lawang Ombo juga dikenal orang dengan nama Rumah Candu.
Tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah Pecinan umumnya, Lawang Ombo memiliki pagar tinggi dengan pintu gerbang besar berwarna kuning. Di teras, terdapat dua pasang kursi-meja panjang untuk duduk-duduk. Di ruang tengah, terdapat altar doa dengan foto-foto hitam-putih di kanan-kiri altar. Lalu, ada kamar-kamar kosong. Di salah satu kamar, ada lubang dengan diameter lebar orang dewasa. Ke belakang, ada rumah lain yang kosong dan gelap. Di halaman belakang, terdapat makam Liem Kong Sing yang besar.
Sehari-hari, Lawang Ombo dibiarkan kosong oleh pemiliknya, Tjoo Boen Hong (Om Soebagio). Hanya dibuka ketika ada tamu yang ingin berkunjung. Sungguh pengalaman yang ngeri-ngeri sedap saat melihat ke kedalaman lubang yang ada di Lawang Ombo. Sangat gelap. Tidak kelihatan dasarnya. Tapi, kabarnya dulu, lubang ini tembus ke Kali Lasem yang ada di hadapan Lawang Ombo. Seseorang biasa menunggu dengan perahu di bawah sana, mengambil candu, lalu membawanya keluar lewat kali.
Baca juga: Sensai bermalam di Lawang Ombo
Nongkrong di Warung Kopi
Tidak tahu dengan Anda nantinya, tapi ini adalah salah satu bagian paling favorit selama saya di Lasem: menghabiskan waktu di warung kopi. Lebih tepatnya, Warung Jinghae di Jalan Karangturi. Ini pun karena warga setempat juga melakukannya.
Rupanya, warga Lasem, baik itu pribumi ataupun warga Tionghoa, senang menghabiskan waktu paginya di warung. Jadi, urutannya begini: mereka bangun pagi, ngopi secangkir kopi hitam pekat di warung didampingi nasi campur, gorengan, atau ketan (oh, ketan yang ngangenin!), lalu mereka baru pergi kerja.
Ini mesti mereka lakukan setiap pagi. Lalu, akan mereka lakukan lagi di sore hari. Nongkrong di warung sembari ngopi adalah cara warga Lasem untuk menjalin tali silaturahmi. Mereka bakal ngobrol apa saja, mulai dari keluarga sampai politik.
Beberapa lelaki kadang-kadang sibuk berbincang sembari ngelelet: melekatkan ampas kopi hitam yang sudah dicampur susu ke rokok mereka. Ini tradisi Lasem juga, yang tidak bisa ditemui di mana-mana. Tidak cuma sembarangan melelet (menempelkan) ampas ke rokok, mereka biasanya membuat motif-motif cantik, seperti sulur atau bunga, di leletan mereka.
Lasem memang kota kecil yang tenang, meski beragam asal-usul hidup di dalamnya. Beberapa di Lasem bakal membuat kita mengerti banyak hal. Salah satunya adalah bahwa bahagia itu tidak mesti mewah, tapi cukup dengan kesederhanaan.
Baca juga: Destinasi kuliner Lasem: Sarapan, Makan Siang, dan Makan Malam
INFO:
Transportasi ke Lasem:
Pesawat. Dari Jakarta, kita bisa naik pesawat dengan tujuan Semarang. Lalu, lanjutkan dengan naik Patas AC bernama Indonesia atau Jaya Utama rute Semarang-Surabaya, sekitar 3-4 jam di atas Jalan Nasional Rute 1 (Jalur Pantura). Tiket bus Patas AC Rp35 ribu. Minta turun di Jembatan Lasem.
Author
-
Ia adalah penggemar berat sastra, terutama sastra Indonesia. Setelah mundur dari profesinya sebagai jurnalis, sekarang ia menikmati pekerjaannya sebagai pekerja paruh waktu. Kebanyakan sebagai travel writer, blogger di renjanatuju.com, scriptwriter film pendek, copywriter iklan, penulis fiksi, dan kontributor di pelbagai majalah.