Batik Tiga Negeri: Kisah Perjalanan Adiwastra Simbol Toleransi dan Keberagaman Indonesia

Batik Maranatha Karangturi

Pembuatan Batik Nyah Kiok

Nama batik tiga negeri bagi kalangan pecinta batik, kolektor, pengamat budaya, sejarawan, budayawan, masyarakat tampak tak asing lagi. Mungkin saja generasi milenial tak banyak yang mengenal jenis wastra ini, namun setidaknya beberapa produk kekinian dari batik tiga negeri tersedia dalam pelbagai varian benda fesyen seperti gaun, kemeja, baju luaran, sepatu dan tas jinjing. Bagi beberapa kalangan batik tiga negeri masih dianggap banyak tersedia di beberapa daerah seperti Cirebon, Pekalongan, Batang, Lasem, dan Solo baik yang diproduksi dengan motif tradisional maupun motif personal. Namun sejatinya, batik tiga negeri tengah menghadapi masalah eksistensinya, yaitu ancaman kepunahan.

Keberadaannya dalam khasanah batik Indonesia dianggap misterius bagi beberapa kalangan. Sedikit informasi yang dapat terkuak dari asal-usul ideologis, ideografis dan filosofi batik tiga negeri yang termasuk dalam golongan batik pesisir, di luar batik pedalaman yang terkenal sebagai batik dengan makna filosofi dan pakem mengikat dari keraton Solo dan Yogyakarta.

Sebuah karya yang sarat pesan akulturasi, cawan peleburan, dan keberagaman budaya pembentuk identitas serta jatidiri bangsa Indonesia. Ia pun menjadi cermin masa lalu Nusantara, di tengah masa sulit pergolakan politik kekuasaan pemerintah kolonial, kebangkitan kesadaran nasionalisme, krisis ekonomi, muncullah batik yang memiliki tiga ciri warna, merah getih pitik (darah ayam) cerminan tradisi Cina dari Lasem, biru indigo warna khas batik indo Belanda Pekalongan, dan warna coklat sogan yang sarat makna filosofi Jawa dan keragamanan budaya. Seiring perkembangan jaman lebih dari 3 dekade sejak kemunculanannya pada awal abad 20, batik tiga negeri pun mendapat sentuhan warna hijau yang merupakan representasi warna Islam.

Harmen C. Veldhuisen dalam bukunya yang berjudul Batik Belanda 1840-1940: Dutch Influence in Batik from Java, History and Stories (1993) menyebutkan bahwa (sarung) tiga negeri memiliki desain dan warna yang unik, batik tersebut mengacu pada beberapa tempat berbeda di pantai utara Jawa dan pedalaman Jawa.

Motif-motif tersebut bersanding dengan motif ‘larangan’ (terlarang) dari keraton Surakarta atau Yogyakarta seperti parang rusak dan kawung. Selembar kain batik tiga negeri masa itu dipastikan merupakan produk premium dan mahal harganya, sebagian besar dikenakan oleh para wanita Melayu, peranakan Cina. Belanda, Arab atau bangsawan lokal yang berada.

DNA batik tiga negeri secara kasat mata dapat dipastikan melalui proses pewarnaan merah terlebih dahulu, disusul warna biru, dan terakhir diwarnai oleh coklat soga. Para seniman batik tulis di Lasem dan Pekalongan mengamini dan memastikan bahwa batik tiga negeri dibuat dengan pencelupan warna merah terlebih dahulu – Lasem. Seorang pakar batik dan pewarna alam dari Pekalongan, Zahir Widadi pun membantu saya menyigi DNA kain batik tiga negeri melalui teori dan metode batik tulis Jawa Tengah.

“Batik tiga negeri tampak jelas memiliki blanko merah. Kemudian ditutup biru indigo dan terakhir masuk sogan,” ujar pengajar filosofi batik yang sekaligus menjabat sebagai Dekan Fakultas Batik, Universitas Pekalongan.

 

Lasem

Kota tilas corong candunya Hindia Belanda ini tak hanya meninggalkan peradaban prasejarah, namun juga jelas memiliki kota tua yang terdiri dari lapisan budaya Hindu-Budha, Cina, Kolonial, Islam, dan sedikit peninggalan jaman Jepang.

Kota ini juga terkenal menjadi tempat kayu dan pusat pembuatan kapal terbaik Hindia Belanda sejak tahun 1650. Kota yang pernah dipimpin oleh Dewi Indu yang bergelar Bhre Lasem (adik perempuan Raja Hayam Wuruk) pada tahun 1351-1479 masa Kerajaan Majapahit ini pun memiliki tradisi batik yang mumpuni bersanding dengan beberapa kota batik di pesisir utara Jawa. Pasarnya? Jangan ditanya, catatan Belanda menyebutkan batik Lasem banyak diekspor ke Singapura, Malaysia dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Batik Lasem menurut tutur lisan masyarakat setempat dimulai sejak masa Na Li Ni si putri Campa istri Bi Nang Un seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan tehnik membatik pada abad 15, sampai masa keemasan perusahaan batik Lasem yang dibangun oleh orang-orang Cina Lasem mulai tahun 1860an. Perusahaan batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Menurut Veth seperti yang dikutip Claudine Salmon dalam buku Chinese Epigraphic Materials in Indonesia Volume 2 (1997), pengusaha batik Lasem pada tahun 1860an mengandalkan 2000an pekerja untuk proses artistik dan 4000an pekerja untuk proses lainnya. Motif batik Lasem pun mendapat pengaruh motif simbolik tradisi Cina seperti motif naga lambang kekuatan keagungan, motif phoenix (burung hong) lambang kecantikan, motif bunga-bunga lambang keindahan dan kesejahteraan, terdapat juga penambahan motif lokal seperti fauna flora laut dan motif lokal lainnya seperti motif kricakan yang melambangkan masyarakat Lasem bekerja rodi membangun jalan raya pos. Sampai pada tahun 1931 tercatat Lasem memiliki 120 pengusaha batik Cina yang tersebar di desa Soditan, Gambiran, Karangturi, Babagan, dan Gedongmulyo. Usaha batik di Lasem hanya dipegang oleh etnis Cina pada masa itu.

 

Pekalongan

Jangan ditanya lagi tentang status Kota Batik-nya! Pekalongan merupakan salah satu kota tua yang memiliki sejarah batik cukup panjang, setidaknya batik berkembang sejak berakhirnya konflik dan perang Kerajaan Mataram melawan kongsi dagang Belanda VOC masa Panembahan Senopati akhir abad 16. Batik Pekalongan terus berkembang seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan wastra berkelas. Pengusaha batiknya pun tak hanya kalangan Jawa saja, para pengusaha batik dari etnis Eropa, Cina dan Arab pun mulai menekuni batik.

Claudine Salmon menyebutkan, permintaan batik terus bertambah mendorong munculnya cap batik di Pekalongan pada tahun 1870an. Beberapa perusahaan di Kedungwuni dan Batang bahkan memiliki lini batik tulis dan cap sekaligus. Karya-karya beberapa pengusaha sekaligus seniman batik terkenal di Pekalongan menjadi incaran masyarakat kelas atas Hindia Belanda. Pada awal abad 20, setidaknya terdapat 1.195 pengusaha batik, 60 diantaranya adalah pengusaha batik Cina dan 3 orang Eropa. Ironisnya, saat ini hanya tersisa 2 rumah batik Cina di Kedungwuni dengan merk Liem Ping Wie dan Oei Soe Tjoen. Rumah batik Liem Ping Wie saat ini dipegang oleh Prisillia Hendrawati (Liem Poo Hien) anak ke lima Liem Ping Wie dan Oei Soe Tjoen dilanjutkan oleh Widianti Widjaja (Oey Kim Lian) cucu OST, mereka berdua bertalian darah.

Prisillia yang menjadi suksesor usaha batik Liem Ping Wie baru memegang penuh usaha batik ayahnya pada tahun 2010. Ia menyebutkan bahwa kakek dan ayahnya membuat batik tiga negeri walaupun akhirnya keluarga mereka lebih banyak memproduksi batik genre sarung encim yang terkenal di kalangan kaum peranakan Cina Asia Tenggara, terutama Singapura dan Malaysia.

“Dulu ya kakek, papah, membuat batik tiga negeri, tapi ya ndak full. Sesekali saya membuat batik tiga negeri pedesaan seperti ala desa Wonopringgo,” ujar Prisillia. “Batik tulis halus begini, yang ngurusi hanya orang kuno, saya termasuk kuno mungkin ya. Anak muda sekarang mungkin jarang yang mau pegang canting, pegangnya HP. Apalagi ya sudah banyak yang bikin cap ya. Saya ya coba cap juga. Ya mungkin terakhirlah ini,” ujarnya terkekeh.

Di lain pihak, suksesor batik OST menyebutkan bahwa,“Batik OST tulis semua. Perlu waktu sekitar 3 tahun untuk menyelesaikan.” Ia mengaku cukup mengetahui sebutan batik tiga negeri, karena OST pun pernah mengeluarkan lini batik tiga negeri. Kegundahannya terpancar dari kutipan pembuka artikel ini. “Batiknya kakek, disebut batik OST. Walaupun OST membuat batik tiga warna tiga negeri ya tetap saja disebut sarung encim,” ujarnya sambil menyebutkan bahwa motif klasik OST terhitung sampai seratusan motif, termasuk didalamnya motif signature OST yaitu Merak Ati, Cuwiri dan Urang Ayu. Widi pernah membuat batik Hokokai, namun saat ini ia menyatakan sudah tidak produksi batik yang pernah tenar pada masa penjajahan Jepang 1942-1945. Saat ini, ia hanya dibantu oleh 15 orang pembatiknya yang sudah menjadi pembatik OST sejak masa Ayah. Sambil mengelus lembar kain bermotif ia berkata,” mungkin ini nafas terakhir ya? Kalau saya bisa mengajari anak saya untuk meneruskan usaha keluarga ini, apa anak-anak para pembatik mau juga meneruskan keterampilan ibunya?”

 

Solo

Beberapa referensi buku, tulisan populer dari kolektor, pengamat budaya dan jurnalis menyebutkan mengenai batik tiga negeri yang berasal dari Solo bermula saat Tjoa Giok Tjiam membuat batik tiga negeri pada tahun 1910. Informasi mengenai para Tjoa yang memproduksi batik dengan tanda tangan namanya pun tersedia dari generasi pertama sampai generasi ke tiga secara berurutan yaitu Tjoa Giok Tjiam (G1), Tjoa Tjoen Kiat dan Tjoa Tjoen Tiang (G2), Tjoa Siang Gwan, Tjoa Tjing Nio dengan merk dagang Oei Sie Djien, dan Tjoa Siang Swie (G3 anak Tjoa Tjoen Kiat), Tjoa Siang Hing (G3 anak Tjoa Tjoen Tiang). Hanya sampai di situ, misterius.

Mencari keberadaan Tjoa bukan hal yang mudah bagi saya. Percakapan saya dengan Tjoa Siang Swie atau Daniel Wijaya Susanto awalnya terjadi melalui gawai pintar. Tjoa Siang Swie kelahiran Solo 12 September 1943 adalah putra Tjoa Tjoen Kiat, cucu Tjoa Giok Tjiam. Ia meneruskan usaha batik tiga negeri kakeknya pada tahun 197. Pakem batik tiga negeri dari jaman sang kakek adalah blangko Buketan merah yang dibuat di Lasem dan ukelan dengan penambahan ornamen motif lainnya. Oh…di Lasem!

Produknya berupa kain panjang atau jarik, sarung, kemben dan iket. Menurutnya Siang Swie, Tjoa Giok Tjiam membuat batik tiga negeri karena mendapat arahan dari keluarga sang istri – Liem Netty Nio. Batik tiga negeri pada masa Giok Tjiam disebut juga dengan nama Gendologiri untuk pasar Jawa Tengah, sedangkan untuk pasar Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, Garut, Cirebon) disebut Babaran Bianjoe.

Kerangka blangko buketan merahnya dibuat di Lasem selama tiga generasi serta memerlukan waktu 3 bulan mulai dari kain dikirim ke Lasem dan kembali ke Solo. Dilanjutkan dengan pewarnaan biru dengan pewarna sintentis dari Jerman, dan ditutup soga racikan Tjoa yang dicelup berulang kali sampai mendapatkan warna soga khas keluarga Tjoa. Minimal diperlukan waktu delapan bulan untuk menghasilkan kain tiga negeri yang sempurna tanpa cacat.

Siang Swie mengaku sering ke Lasem karena membuat blangko buketan sampai tahun 2007. Ia bersama istrinya, Sie Hing Kwan – putri seorang pengusaha penjualan perlengkapan batik – kerap berkreasi untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka muncullah batik tiga negeri dengan jenis lain dengan variasi warna seperti violet, biru muda, dan hijau. Beberapa produknya saat ini diburu kolektor dengan nama baby blue, baby green, dan violet. Setelah ia berhenti memproduksi batik tiga negeri, tiada anak bersedia meneruskan usaha ayah ibunya. Pada tahun 2014, Tjoa Siang Swie memutuskan tidak meproduksi batik lagi. “Rumah (keluarga Tjoa) di Jalan Juanda (Sorogenen) telah dijual, cari tenaga kerja yang bisa membatik tulis yang baik sulit, dan saya sudah waktunya pensiun. Dan batik tiga negeri Tjoa tidak ada yang meneruskan,” punkasnya.

Batik tiga negeri bukan termasuk jenis batik koleksi kolektor yang berharga fantastis, namun dari keberadaannya, batik tiga negeri terbilang cukup unik. Pada masanya ia hanya diproduksi oleh pengusaha batik Cina di daerah pesisir utara Jawa (Lasem, Kudus, Pekalongan, Batang, Cirebon) dan pedalaman Jawa Tengah (Solo). Dalam tutur turun temurun disebutkan bahwa batik tiga negeri merupakan batik yang dibuat di tiga daerah yaitu Lasem, Pekalongan, dan Solo. Nama tiga negeri juga memiliki pengertian batik yang mengalamai proses pewarnaan di Lasem, Pekalongan, Solo. Selain itu juga dimaknai batik yang memiliki warna merah (Lasem), biru (Pekalongan), dan coklat soga (Solo) walaupun tidak mengalami proses pencelupan warna di ketiga kota tersebut. Perjalanan batik tiga negeri tampak selalu misterius, namun pesan dalam selembar kain sangat jelas, toleransi dan keberagaman. Mulai dari hulu ke hilir, batik tiga negeri mendapat sentuhan aneka kebudayaan. Jika batik tiga negeri Tjoa Solo tiada lagi yang meneruskan, batik tiga negeri di Pekalongan berada dalam kondisi kekurangan nafas, kita mungkin masih bisa berharap dari generasi pembatik muda yang mewarisi batik tiga negeri dari nenek moyangnya di Lasem. Akankah Lasem menjadi garda terakhir batik tiga negeri? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Author

  • Pencinta budaya Cina di Nusantara, tinggal di Jakarta. Ia juga kerap menulis untuk beberapa media, salah satunya National Geographic Indonesia.